Monday 4 March 2013

Sains dalam Etika ?


Sains dan Etika

“………..agar buah ciptaan dari pemikiran kita merupakan berkah, dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan.  Janganlah kau lupakan hal ini di tengan tumpukan diagram dan persamaan."(Einstein kepada muridnya, 1938)

Publisitas keberhasilan kloning pada domba baru-baru ini membangkitkan kembali perdebatan yang sudah cukup lama yakni antara penganut yang menyatakan bahwa sains harus bebas nilai dengan penganut yang berpendirian bahwa sains harus mengandung nilai-nilai kebaikan bagi manusia atau kemanusiaan.  Panganut paham pertama berpendapat bahwa sains hanya bertugas mengungkap dan menyimpilkan fakta yang benar secara ilmiah.  Dalam pengungkapan fakta para ilmuah bebas merambah atau menjelajah ke dalam bidang atau sudut mana saja tanpa terikat pada
aspek etika, moral, atau tatanan sosial yang berlaku. 
            Sebaliknya, penganut paham kedua berpendirian bahwa sains harus tidak bebas nilai.  Sains harus dibingkai oleh nilai-nilai moral atau kemanusiaan.  Lebih jauh lagi, mereka berpendapat bahwa penelitian yang berpotensi atau dapat mengarah pada akibat yang merugikan nilai kemanusiaan atau tatanan sosial harus dicegah.  Dalam kasus kloning domba di atas, penganut paham ini akan menentangnya dengan argumentasi bahwa teknik kloning pada domba akan dapat diterapkan pada manusia.  Bila hal ini terjadi, dampaknya bagi tatanan sosial masyarakat akan sangat merugikan.
            Walaupun dikotomi tentang bebasnilai-tidaknya sains merupkan wacana yang sudah lama, subjek ini nampaknya masih relevan saat ini.  Hal ini mengingat bahwa dewasa ini makin banyak penelitian (termasuk penelitian dasar) yang dibiayai oleh perusahaan multinasional (seperti Monsanto, Dupon, ICI dll.) yang tentu tidak terlepas dari kepentingan bisnis mereka.  Berbisnis memang tidak salah, namun dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan, tidak jarang pebisnis mengabaikan moral dan etika.
            Sesungguhnya bebasnilai-tidaknya sains adalah masalah rumit yang tidak dapat dijawab dengan sekadar ya atau tidak (Daldjoeni, 1999).  Karena itu, pada paper ini penulis bermaksud meninjau masalah ini dari pendapat-pendapat filsuf, baik dari zaman Yunani, pertengahan ataupun kontemporer.

oleh:

Abd. Aziz Syarifb




" Budayakan Meninggalkan Jejak ^^ Berkomentarlah Sepantasnya "

0 komentar:

Post a Comment